BIOGRAFI SINGKAT AGIL SUWITO DI DUNIA LUDRUK


Pada tanggal 23 Mei 1957 di Jombang, lahir seorang bakal seniman ludruk bernama Suwito. Sejak kecil kecintaan pada ludruk sudah tampak pada diri Suwito. Pada saat kelas 4 SD, Suwito kecil terbiasa menonton pertunjukan ludruk, bahkan yang jauh dari rumahnya.
Kecintaannya pada ludruk semakin diperkuat ketika tahun 1974, ketika itu baru lulus SMP, dia bertemu dengan seorang seniman ludruk bernama Juri dan mengutarakan niatnya untuk menjadi seniman ludruk.
Awal perjalanan Suwito di dunia ludruk dimulai dari ikut rombongan ludruk tobong IRAMA JAYA pimpinan Bapak Subianto dari Desa Pulorejo, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang yang pentas di Songowareng, Lamongan, kemudian berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Saat nobong, hampir semua tugas dan peran pernah dijalani. Mulai dari tukang dekorasi, gontok (peran laga), sampai berperan dalam kostum binatang.
Melihat kegigihan dan potensi yang dimiliki oleh Suwito, sutradara mulai memasukkannya dalam tokoh vital cerita sebagai tokoh antagonis.
Sepanjang karir di dunia ludruk, Suwito juga berpindah dari satu ke grup yang lain antara lain : IRAMA JAYA, PUTRA BIRAWA, BINTANG JAYA, BIYAN MAYANGKARA, MASA BARU, GAJAH MADA, LANGEN TRISNO, KARTIKA JAYA, KARTIKA BARU, SEKAR SARI, ASMARA MURNI, juga BUDI DAYA.
Pada masa itu, nama-nama ludruk tersebut cukup dikenal masyarakat. Bahkan ada beberapa pimpinan ludruk yang mendirikan ludruk baru memakai nama diantara nama ludruk tersebut. 
Cukup lama Suwito nobong, terhitung sejak tahun 1974 sampai tahun 1985. Selama nobong berbagai pengalaman, baik menyenangkan maupun menyedihkan pernah dialami. Misalnya, saat hujan turun, tentu saja ludruk tidak dapat main, kalaupun main jumlah penonton menurun. Tentu saja berpengaruh pada honor pemain, karena honor didapat dari hasil penjualan tiket pertunjukan. Saat itulah terasa sangat berat, apalagi hidup jauh dari rumah. “ngutang” makan di warung, makan singkong bakar yang diambil dari kebun penduduk sekitar lokasi tobong, sampai menjual barang pribadi untuk memenuhi kebutuhan hidup, sudah menjadi keseharian selama bersama ludruk tobong.
Akhirnya pada tahun 1985, saat nobong bersama ludruk BUDI DAYA di Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Suwito memutuskan untuk pulang ke Jombang. Namun tujuannnya pulang bukan untuk “pensiun”, tetapi tetap melanjutkan bermain ludruk. 
Setelah pulang ke Jombang, Suwito tidak lagi mengikuti ludruk tobong, tetapi hanya ikut ludruk “tanggapan” yang pentas pada acara hajatan pernikahan, khitanan, atau sedekah bumi saja.
Pada tahun 1987, seorang sinder tebu bernama Bapak Sahid dari Kecamatan Kudu (sekarang Kecamatan Ngusikan) mendirikan ludruk yang diberi nama BUDHI WIJAYA. Saat itu Suwito “dipinang” untuk membantu menjalankan ludruk BUDHI WIJAYA sebagai ketua rombongan dan sutradara.
Mendapat kepercayaan dari Bapak Sahid tidak lantas menbuat sombong. Hal itu dijadikan motivasi untuk mengembangkan kemampuan di dunia ludruk. Bersama ludruk BUDHI WIJAYA, Suwito tidak hanya sebagai aktor, tetapi juga sutradara dan penulis cerita. Banyak diantara cerita lama yang sudah ada ditulis ulang dengan menambahkan unsur intrinsik baru sehingga membuat tampilan cerita menjadi berbeda, dan lebih segar.
Tidak kurang juga cerita baru dibuatnya yang bersumber dari ide sendiri, ide teman, ataupun dari kisah nyata. Beberapa cerita yang dibuatnya antara lain : PENDEKAR JALAK PUTIH, PENDEKAR GUNUNG LAWU, WAHYU MUSTIKO JATI, PESUGIHAN LUTUNG PULO SEPRAPAT, WINGKO KATON KENCONO, dan masih banyak cerita lainnya.
Satu diantara cerita yang dibuatnya sukses ditampilkan adalah PESUGIHAN LUTUNG PULO SEPRAPAT. Ide cerita itu timbul ketika masih bersama rombongan ludruk BUDI DAYA. Saat nobong di Desa Juono, Pati, Jawa Tengah sekitar tahun 1983, kala itu sempat bersama teman anggota ludruk lainnya “plesir” dengan menggunakan perahu ke sebuah pulau di tengah laut bernama Pulo Seprapat. Saat teman lainnya hanya sibuk melihat pemandangan, Suwito menemui juru kunci, dan ikut ‘ritual’ di sebuah pesarean yang terdapat sebuah batu berbentuk agak bulat dengan dibalut kain putih. Setelah melakukan “ritual”, Suwito diajak juru kunci ke rumahnya. Saat itulah mendengar cerita tentang Pulo Seprapat. Dikisahkan jika Pulo Seprapat merupakan tempat kediaman seorang raja siluman bernama Ki Ludang Datuk berwujud manusia dengan kepala lutung/kera. Ki Ludang Datuk merupakan seorang siluman yang kaya, sehingga banyak manusia yang datang ke tempat itu untuk mencari harta (pesugihan). Namun syaratnya setelah mati, orang tersebut harus menjadi prajurit di Pulo Seprapat melayani Ki Ludang Datuk.
Setelah mendengar cerita tersebut, sebenarnya sudah tergambar ide sebuah cerita ludruk, namun saat itu tidak berani menampilkannya di panggung ludruk, baru saat kembali ke Jombang berani menampilkannya di panggung ludruk.
Cerita yang dibuatnya tersebut ternyata mendapat respon positf dari penonton, sehingga sering ditampilkan. Ketika awal memiliki ludruk sendiri, cerita itu juga sering ditampilkan. Banyak pula ludruk lainnya saat ini yang juga menampilkan cerita tersebut di pertunjukannya. Bahkan beberapa tahun yang lalu, seorang dalang dari Jombang bernama Karnoto datang ke rumah Suwito untuk meminta ijin untuk menggubah sebuah lagu bergendre gending jawa dolanan berdasarkan cerita tersebut. Dan ternyata lagu tersebut yang dibuat oleh salah satu label rekaman ternama di Surabaya dengan judul Pulo Seprapat juga sukses di pasaran.
Terhitung sejak berdiri tahun 1987 ludruk BUDHI WIJAYA meraih kesuksesan di setiap pementasannya. Sehingga Suwito berfikir sudah cukup usahanya untuk membantu Bapak Sahid, dan berencana semakin mengembangkan pengalaman dengan mendirikan sebuah ludruk sendiri.
Tanggal 25 Juni 1997 Suwito memutuskan pamit kepada Bapak Sahid untuk tidak bersama ludruknya lagi untuk mendirikan ludruk sendiri. Bapak Sahid tampak marah mendengar penuturan Suwito, tetapi tekadnya sudah bulat. Akhirnya pada tanggal 11 Nopember 1997, dalam waktu yang cukup singkat Suwito mendirikan ludruk yang diberi nama MUSTIKA JAYA. Nama tersebut dipilih karena Mustika merupakan jenis “jimat” atau barang berharga yang banyak dicari orang. Jadi nama Mustika dipilih dengan harapan ludruk yang dibuatnya dapat memiliki “yoni” layaknya sebuah mustika, ditambahkan Jaya tentu saja dengan harapan ludruknya dapat selau berjaya/meraih kesuksesan.
Saat itulah, ketika mendirikan ludruk MUSTIKA JAYA, Suwito menambahkan satu kata Agil di depan namanya, sehingga menjadi AGIL SUWITO, yang sampai sekarang dia sering juga dipanggil dengan nama Bapak Agil. Adapun nama tersebut bukanlah nama populer tanpa makna, tetapi ada maksud di balik nama tersebut. Sebenarnya nama tersebut merupakan sebuah kalimat : Aku Gesang Ingin Langgeng. Secara inplisit dapat dijelaskan jika nama tersebut sebenarnya sebuah do’a. Keinginan agar melalui ludruknya dapat memperoleh rizki secara terus menerus (langgeng).

Hal itu terbukti baru berdiri, ludruk MUSTIKA JAYA mampu bersaing dengan ludruk BUDHI WIJAYA dengan mendapat terop (undangan pentas) yang cukup banyak. Namun kesuksesan tersebut tidak tanpa kesulitan. Walaupun terop terhitung banyak, namun belum mampu mencukupi kesejahteraan anggotanya. Karena sebagian besar property pertunjukan masih sewa kepada orang lain, semisal : gamelan, panggung, Kendaraan (truk), Sound system, dan yang lainnya