Suatu sore Pak Yanto sedang menyapu di rumahnya ketika datang Bu Wanti, istrinya. Dengan santai Bu Wanti melepas sandal yang dikenakannya dan duduk santai di kursi. Dengan seenaknya Bu Wanti membentak suaminya karena dianggap kerjanya lamban. Tidak berapa lama kemudian datang Santi, anaknya dari sekolah. Setelah mencium tangan kedua orang tuanya, Santi masuk ke dalam rumah.
Bu Wanti kemudian meminta Pak Yanto
untuk duduk, kemudian mengutarakan niatnya untuk mengikuti seleksi kepala
dusun. Namun Pak Yanto tidak menyetujuinya dengan alasan tugas seorang kepala
dusun berat, dia takut istrinya akan kewalahan menjalankan tugas jika nantinya
menjadi kepala dusun. Lagipula mekanisme perekrutan melalui ujian. Tentu banyak
saingan dari kalangan terpelajar dan berpendidikan lebih tinggi. Mendengar
penuturan suaminya, Bu Wanti marah. Dia mengatakan jika berhasil menjadi kepala
dusun akan memiliki kekuasaan yang luas. Bu Wanti mencibir, jabatan suaminya
yang hanya ketua RT membuatnya tidak memiliki kekuasaan. Terlebih pekerjaan
suaminya sebagai PNS segera berakhir, tentu penghasilan berkurang, jika
berhasil menjadi kepala dusun tentu bisa memperoleh penghasilan lebih. Mengenai
ujian seleksi, Bu Wanti berpendapat nilai bisa dimanipulasi oleh uang. Akhirnya
Pak Yanto menyetujui niat istrinya.
Sementara itu di rumah Pak Purwanto,
kepala desa. Tampak Pak Purwanto sedang bercengkerama dengan Bu Endang,
istrinya. Mereka membahas tentang persiapan seleksi perangkat desa baru untuk
menggantikan perangkat desa yang purna tugas. Bu Endang merasa takut, walaupun
mekanismenya menggunakan ujian, masyarakat luas tetap menganggap proses seleksi
masih sarat dengan kolusi dan nepotisme. Bu Endang berharap, suaminya sebagai
kepala desa arif dalam melaksanakan proses seleksi. Dan tidak terpengaruh
dengan iming-iming apapun dari para calon. Beliau menginginkan seleksi
dilaksanakan secara bersih, dan posisi perangkat desa diisi oleh orang yang
benar-benar memiliki kemampuan. Pak Purwantopun membenarkan ucapan istrinya.
Beberapa saat kemudian datang Bu Wanti
ke rumahnya, dan mengutarakan niatnya untuk mengikuti seleksi kepala dusun, dan
dia meminta Pak Purwanto untuk membantunya dengan cara memberikan nilai yang
tinggi kepadanya, sehingga dia bisa menjadi kepala dusun. Menanggapi permintaan
Bu Wanti, Pak Purwanto menjawab jika mekanisme ujian tidak dapat diatur. Semua
tergantung dari usaha dan kemampuan masing-masing calon.
Mendengar jawaban Pak Purwanto, Bu Wanti
marah, dia mengancam akan mencopot Pak Purwanto dari jabatan kepala desa jika
tidak bersedia memenuhi keinginannya, karena dia dekat dengan bupati,
menurutnya hal tersebut mudah untuk dilakukannya. Setelah itu Bu Wanti
meninggalkan rumah Pak Purwanto.
Pak Purwanto dilanda kebimbangan,
karena mengetahui kemampuan Bu Wanti, dia tidak akan dapat bekerja jika
benar-benar menjadi kepala dusun, namun Pak Purwanto juga takut jika Bu Wanti
melaksanakan ancamannya.
--ooOoo--
Kesedihan melanda keluarga Bu Suciati,
karena cucunya yang masih bayi sedang sakit keras. Bayi itu hanya dapat
menangis di gendongan Dini, ibunya. Mereka bingung mencari biaya pengobatan, sedangkan
suami Dini sedang bekerja di luar kota. Tak lama datang Diki, anak sulung dari
Bu Suciati. Diki kemudian mengatakan akan berusaha mencari bantuan ke rumah Bu Wanti
yang sudah menjadi kepala dusun.
Sesampainya di Rumah Bu Wanti, Diki
ditemui oleh Pak Yanto. Mendengar niatan Diki datang ke ruamahnya, Pak Yanto
kemudian memanggil istrinya kemudian ikut duduk bersama, namun diminta pergi
oleh Bu Wanti untuk mengangkat jemuran.
Diki mengutarakan niatnya untuk meminta
dibuatkan surat miskin untuk berobat keponakannya yang sakit keras, juga
meminta tolong Bu Wanti untuk meminjamkan mobil digunakan untuk mengantar ke
rumah sakit. Bu Wanti menyanggupinya dan meminta Diki pulang untuk menyiapkan
keberangkatan ke rumah sakit.
Sepeninggal diki, wajah Bu Wanti tampak
cerah, dia bergumam, setelah menjadi kepala dusun dia memiliki kekuasaan. Dia
berfikir, untuk pertama memenuhi permintaan warga, setelah warga memiliki rasa hutang
budi, dia dengan mudah dapat mengatur warga seperti boneka.
--ooOoo--
Bu Suciati dan Dini gembira, karena
cucu Bu Suciati sudah sembuh dan pulang dari rumah sakit. Belum selesai mereka
meluapka kegembiraan, datang Bu Wanti ke rumahnya. Dengan hormat Bu Suciati dan
Dini menyambut dan mengucapkan terima kasih. Namun ucapan terima kasih tersebut
ditanggapi dingin, Bu Wanti mengatakan pertolongannya tidak gratis, Bu Suciati
harus mengganti biaya yang telah dikeluarkannya. Betapa terkejut Bu Suciati
mendengar penuturan Bu Wanti, terlebih biaya yang diminta teramat besar.
Padahal Bu Suciati merasa biaya yang dikeluarkan tidak seberapa besar, karena
untuk pengobatan telah ditanggung pemerintah melalui surat miskin yang
dibuatnya.
Dengan marah Bu Wanti mengumpat Bu Suciati,
dia mengatakan bahwa surat miskin dapat diterima karena dia yang mengusahakan,
selain itu untuk ke rumah sakit juga menggunakan kendaraan miliknya. Sudah
menjadi keharusan Bu Suciati untuk menggantinya. Bahkan dengan kasar Bu Wanti
mengatakan dia telah memberikan kehidupan kepada cucu Bu Suciati, jika bukan
karenanya, mungkin cucu Bu Suciati sudah meninggal.
Sebelum meninggalkan rumah Bu Suciati,
Bu Wanti mengancam jika tidak segera dibayar, hutangnya akan berbunga semakin
besar. Begitu terpukul hati Bu Suciati dan Dini, sehingga membuat mereka
menangis. Hal itu membuat Diki yang baru pulang merasa heran.
Diki tersulut emosinya mendengar cerita
dari ibu dan adiknya, dia bergegas kembali keluar untuk ke rumah Bu Wanti untuk
membuat perhitungan. Di perjalanan, Diki bertemu dengan dua temannya, Wasono
dan Agus. Mendengar penuturan Diki, Wasono menyarankan agar Diki membalas
dengan halus untuk menyakiti hati Bu Wanti. Agus menyarankan agar Diki
mendekati Santi, anak Bu Wanti, tentu Bu Wanti akan terpancing emosinya karena orang
yang gila harta seperti Bu Wantio tidak akan terima jika anaknya dekat dengan
seorang yang miskin. Setelah berfikir, Diki menyetujui saran kedua temannya.
--ooOoo--
Lima bualn kemudian, tampak kegundahan
tergurat diwajah Santi. Dia telah melakukan hubungan yang terlalu jauh hingga
hamil dengan kekasih hatinya, Diki. Dia khawatir ibunya akan marah mengetahui
dia hamil, terlebih dia hamil karena perbuatan seorang yang miskin.
Sementara itu Bu Wanti heran melihat
perubahan sikap anaknya. Dia berusaha membujuk anaknya untuk menceritakan
masalh yang dialami, namun Santi hanya terdiam, merasa kehabisan akal Bu Wanti
memanggil Pak Yanto untuk membujuk agar Santi menceritakan masalahnya.
Betapa terkejut Pak Yanto dan Bu Wanti
mendengar pengakuan yang diberikan dengan rasa takut oleh Santi, dengan emosi,
Bu Wanti meminta suaminya untuk memanggil Diki kerumahnya. Setelah Diki datang
bu Wanti tidak dapat lagi membendung emosinya, namun Diki selau berkelit dari
tangan Bu Wanti yang hendak memukulnya sehingga membuat Bu Wanti semakin marah,
dengan kalap Bu Wanti meraih gunting yang ada di meja dan berusaha menusuk
Diki. Namun betapa terkejut Bu Wanti karena usahanya dihalangi oleh Santi
sehingga tikamannya mengenai anaknya sendiri. Bu Wanti menangis histeris. Tidak
lama kemudian datang Wasono dan Agus beserta Pak Hadi, sekdes. Karena
sebelumnya Wasono dan Agus mengetahui Diki dipanggil ke rumah Bu Wanti tentu
ada masalah, sehinga mereka berinisiatif membantu temannya dengan mengajak
sekdes.
Semua terkejut melihat Santi
tergeletak, dengan terbata-bata dia mengatakan jika dia sangat mencintai Diki
dan tidak ingin dipisahkan. Dia lebih rela mati daripada harus dipisahkan dari
Diki, kekasihya. Semuapun berusah menolong Santi tetapi dihalangi Bu Wanti,
dengan tertawa dia mengatakan jika terjadi apa-apa dengan anaknya. Semuanya
terkejut, karena melihat gelagat, tampak Bu Wanti seperti orang gila. Akhirnya
dengan memaksa mereka menangkap Bu Wanti dan menolong Santi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar